Menurut KH Azhar Basyir, Perjanjian Asuransi adalah hal baru yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw dan para sahabat serta tabi’in. Artikel ini akan mengupas Asuransi Dalam Pandangan KH Azhar Basyir.
Profil KH Ahmad Azhar Basyir
KH Ahmad Azhar Basyir MA, adalah mantan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1990-1995), menggantikan KH. AR Fachruddin yang telah 26 tahun memimpin Persyarikatan Muhammmadiyah. Sosok rendah hati kelahiran 21 November 1928 di Yogyakarta ini dikenal sebagai pakar hukum Islam dan mengajar di berbagai universitas unggulan di Tanah Air, seperti UGM, UI, UII, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), UMS (Solo), UMM (Malang), dan UIN Suka Yogyakarta.
Beliau juga pernah menjabat sebagai anggota tetap Lembaga Fiqih Islam Dunia/OKI (wakil Indonesia), salah seorang Ketua MUI Pusat (1990-1995); anggota Dewan Pengawas Syariah Bank Muamalat Indonesia; anggota MPR-RI (1993-1998), dan jabatan lainnya.
Berbagai seminar dan forum ilmiah baik yang digelar di dalam maupun luar negeri pernah dihadiri oleh beliau yang memperoleh Master dalam Ulum Islamiyah Jurusan Syariah Islamiyah dari Fakultas Darul Ulum Universitas Kairo Mesir ini, dengan judul tesis “Nizham al-Mirats di Indunusia bainal ‘Urf wasy Syariah Al-Islamiyah” (Sistem Warisan di Indonesia Menurut Hukum Adat dan Hukum Islam).
Beberapa buku atau karya ilmiah beliau berhasil diterbitkan, antara lain Refleksi Atas Persoalan Keislaman (seputar filsafat, hukum, politik dan ekonomi); Garis-garis Besar Ekonomi Islam; Hukum Waris Islam; Sex Education; Citra Manusia Muslim; Syarah Hadits; Missi Muhammadiyah; Falsafah Ibadah dalam Islam; Hukum Perkawinan Islam; Negara dan Pemerintahan dalam Islam; 3 Mazhab Mu’tazilah (Aliran Rasionalisme dalam Filsafat Islam); Peranan Agama dalam Pembinaan Moral Pancasila, dan lain-lain.
Sebelum menuntaskan jabatanya sebagai Ketum PP Muhamamadiyah, KH Azhar Basyir telah dipanggil menghadap Allah SWT pada 28 Juni 1994 dalam usia 66 tahun, dan dimakamkan di Pemakaman Umum Karangkajen Yogyakarta.
Kali ini salah satu pemikiran beliau tentang asuransi kami hadirkan untuk pembaca setia alhadits.net, dengan harapan bisa menambah khazanah pengetahuan keislaman. Berikut uraiannya:
Sejarah Asuransi
Menurut KH Azhar Basyir, Perjanjian Asuransi adalah hal baru yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw dan para sahabat serta tabi’in. Di dunia Barat, asurnasi pertama kali muncul pada tahun 1182, ketika orang-orang Yahudi diusir Perancis, untuk menjamin risiko barang-barang mereka yang diangkut keluar lewat laut.
Tetapi menurut catatan sejarah Barat, bangsa Romawi-lah yang dipandang sebagai pemuncul gagasan perjanjian asuransi laut pada abad ke-12, kemudian memencar di beberapa daerah Eropa pada abad ke-14. Di tahun 1680 di London didirikan asuransi kebakaran sebagai akibat peristiwa kebakaran besar di Inggris tahun 1666.
Pada abad ke-18 bermunculan perusahaan asuransi kebakaran di beberapa negara, seperti di Perancis dan Belgia, dan bahkan kemudian di Amerika muncul pula. Dan di abad ke-19 asuransi jiwa bagi awak kapal mulai dikenal, yang berarti asuransi jiwa pada mulanya merupakan cabang dari asuransi laut.
Perluasan asuransi jiwa terjadi pada awal abad ke-20 hingga sekarang. Perusahaan asuransi laut dan kebakaran yang pertama kali muncul di Indonesia adalah “Batavianche Zee & Brand Assurantie Maatschappij” didirikan tahun 1843. Pada tahun 1912 lahir perusahaan asuransi jiwa “Bumi Putera” sebagai usaha pribumi.
Pengertian Asuransi
Asuransi Dalam Pandangan KH Azhar Basyir. Mantan santri Pondok Pesantren Termas Pacitan itu mengutip Kitab Undang-undang Hukum Dagang pasal 246 (Diadopsi dari KUHD produk Belanda “Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) merumuskan pengertian asuransi sebagai berikut: “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian, dimana penanggung mengikat diri terhadap tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan kepadanya ganti rugi karena suatu kehilangan, kerusakan, atau tidak mendapat keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dapat diderita karena suatu peristiwa yang tidak pasti.”
Pasal 247 KUHD menunjuk berbagai lapangan asuransi sebagaimana dinyatakan: “Pertanggungan itu antara lain dapat mengenai: bahaya kebakaran; bahaya yang mengancam hasil pertanian yang belum dipanen; mengancam jiwa satu orang atau lebih; kemudian bahaya laut dan bahaya perbudakan; bahaya yang mengancam pengangkutan di darat, di sungai, dan perairan pedalaman/darat.”
Asuransi Jiwa
KH Azhar Basyir mengungkapkan, Asuransi Jiwa terdiri dari tiga jenis asuransi, yaitu asuransi jiwa, annuiteit, dan asuransi kesehatan.
- Asuransi jiwa menyediakan sejumlah uang pada waktu tertanggung meninggal dunia untuk biaya penguburan dan untuk melanjutkan penghasilan bagi para ahli warisnya.
- Annuiteit adalah kebalikan dari asuransi jiwa dalam dicairkannya suatu kekayaan menurut suatu pengaturan dimana annuiteit (pemegang annuiteit) dijamin memperoleh penghasilan selama ia masih hidup.
- Asuransi kesehatan menyediakan sejumlah uang untuk membayar ongkos-ongkos pengobatan dan rumah sakit yang timbul karena kecelakaan atau penyakit dan melindungi tertanggung terhadap kerugian penghasilan karena cacat.
Pandangan Hukum Islam
Asuransi Dalam Pandangan KH Azhar Basyir. Dalam pandangan KH Azhar Basyir yang belajar di Madrasah Muballighin Muhammadiyah Yogya ini, karena asuransi adalah hal baru yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw, maka para ahli hukum Islam menilai asuransi dengan jalan ijtihad. Bagaimana lazimnya ijtihad, dalam menilai asuransi ini pun terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli-ahli hukum Islam. “Ada yang membolehkan, dan ada yang mengharamkannya,” tandasnya.
Asuransi Haram karena mengandung unsur untung-untungan/perjudian
Yang berpendapat asuransi haram hukumnya, kata KH Azhar Basyir, menitikberatkan pada unsur untung-untungan. Siapa yang akan beruntung, si penanggung (perusahaan asuransi—red) atau si tertanggung (semacam nasabah—red). Si tertanggung beruntung jika ia meninggal sebelum masa kontrak habis. Si penanggung harus memberikan santunan kepada ahli waris atau yang ditunjuk oleh tertanggung sejumlah uang yang lebih besar daripada premi yang diberikan oleh tertanggung.
Demikian pula asuransi kesehatan, si tertanggung akan beruntung jika ia menderita sakit yang biaya pengobatannya ternyata jauh lebih besar dariapada premi yang dibayarkan kepada si penanggung. Keadaan demikian dinilai mengandung ketidakjelasan dalam obyek akad. Sifat untung-untungan dapat juga dipandang sebagai perjudian.
Jika tertanggung masih hidup setelah masa kontrak berakhir, ia berhak menerima penanggung, ditambah dengan jasa dan bunga. Jasa atau bunga itu dinilai sebagai riba yang diharamkan oleh syara’.
Dalam hal tertanggung tidak mampu melanjutkan pembayaran premi hingga berakhirnya kontrak, dan terpaksa memutuskan di tengah perjalanan masa kontrak, maka tidak semua premi yang telah dibayar dapat diuangkan kembali. Bahkan jika baru bulan-bulan pertama, maka premi sepenuhnya menjadi milik penanggung, yang dalam hal ini adalah perusahaan asuransi.
Pendapat yang memandang asuransi haram hanya melihat hubungan antara para tertanggung secara individual; tidak secara kelompok tertanggung yang bersama-sama, dan perusahaan asuransi yang bermotif memperoleh keuntungan besar dalam bisnisnya.
Asuransi Tidak Haram karena membawa misi gotong-royong dan ta’awun
Sebaliknya, lanjut KH Azhar Basyir, Berbeda dengan pendapat yang tidak berkeberatan terhadap asuransi pada umumnya dan asuransi jiwa khususnya. Para tertanggung dipandang sebagai sekelompok orang yang saling bergotong-royong dengan perantaraan perusahaan asuransi yang menghimpun dana dari para tertanggung, kemudian menyerahkan kepada tertanggung yang berhak sesuai dengan isi kontrak.
Dengan asas gotong-royong atau ta’awun itu, semua masalah yang dirasakan mengandung keberatan oleh pendapat yang mengharamkan menjadi hilang. Kemiripannya dengan judi hilang. Unsur ketidakjelasan pun hilang. Seimbang atau tidak antara premi yang dibayarkan dengan santunan yang diterima tertanggung tidak dipermasalahkan lagi. Seluruh premi kepada tertanggung jika ia tetap hidup sehabis masa kontrak. Yang dipermasalahkan kemudian tinggal jasa atau bunga tambahan yang dapat diatasi dengan jalan lain. Pihak perusahaan asuransi pun tidak mengembangkan dana yang terkumpul dengan jalan riba.
BACA JUGA: Sedekah Itu Mudah
Yang Perlu Dibenahi
Hal yang perlu dibenahi, menurut ulama fiqih asal Muhammadiyah ini, adalah perjanjian asuransi dengan asas ta’awun menuntut agar mental para tertanggung benar-benar siap. Perjanjian yang dilakukan benar-benar perjanjian tolong-menolong, bukan perjanjian tukar-menukar. Dengan demikian, bukan untung rugi yang dipikirkan, tetapi bagaimana hubungan tolong menolong dapat ditegakkan. Tertanggung yang memutuskan kontrak sebelum habis waktunya dan kehilangan seluruh atau sebagian besar premi yang telah dibayarkan tidak dirasakan sebagai kerugian. Lebih-lebih dalam asuransi kesehatan, iuran yang tidak akan kembali, dan tidak dinikmati oleh tertanggung yang selalu sehat, tidak dirasakan sebagai kehilangan, karena dapat digunakan tertanggung lain yang mengalami sakit.
Pihak perusahaan asuransi umumnya dan asuransi jiwa khususnya benar-benar merupakan lembaga yang mengorganisasi perjanjian gotong-royong, yang memperoleh jasa dari jerih payahnya secara seimbang, bukan perusahaan yang justru berupaya memperoleh keuntungan besar. Hal yang disebutkan terakhir inilah yang sering menjadi sumber penilaian terhadap perusahaan asuransi, dan berpandangan kurang sreg terhadap asuransi.
Nama Asuransi Jiwa
Nama asuransi jiwa sering disalahmengertikan. Dikira jiwa yang diasuransikan. Jiwa yang telah diasuransikan dalam batas waktu kontrak dipandang sebagai intervensi terhadap takdir Tuhan. Padahal yang dimaksud adalah asuransi akibat kematian seseorang, bagi ahli waris tertanggung atau yang ditunjuk. Jika dapat dicari istilah lain yang lebih pas, rasanya akan meringankan kesan yang menyeret pada kesalahpahaman itu, dan akhirnya tidak menimbulkan keraguan terhadap status hukumnya.
Itulah sekedar ulusan kecil yang mudah-mudahan bisa dijadikan pijakan dan bahan pertimbangan bagi kaum Muslim. Hal itu terutama sekali hubungannya dengan status hukum asuransi jiwa yang semakin banyak diikuti oleh bangsa Indonesia, yang otomatis di dalamnya banyak kaum Muslim.
Demikian uraian singkat seputar asuransi, dikutip dari padangan KH Ahmad Azhar Basyir MA, mantan Ketum PP Muhammadiyah. Semoga bisa membuka wawasan kita. Dan kita semakin tahu posisi asuransi dalam pandangan hukum Islam, sehingga kita akan bersikap lebih wise. Karena asuransi memang produk baru dalam dunia Islam.
Referensi :
- KH Ahmad Azhar Basyir MA, Refleksi Atas Persoalan Keislaman (seputar filsafat, hukum, politik dan ekonomi); Mizan Bandung, Cetakan I Oktober 1993.
Image : Dok. PP Muhammadiyah
Editor : Dezete