Betapa Cintanya Rasulullah pada Siti Khadijah. Setelah menikah dengan Siti Khadijah binti Khuwailid, Rasulullah Saw merasakan ketenangan dan kedamaian hati. Karena Cinta Rasulullah pada Siti Khadijah. Beliau telah memiliki rumah sebagai tempat tinggal dan keluarga sebagai tempat merasakan ketentraman. Itu sebabnya Beliau bisa lebih memfokuskan diri pada perenungan dan berfikir (tafakkur), sementara Siti Khadijah tetap setia membantu Beliau tanpa mengeluh sedikitpun.
Dikutip dari buku Manajemen Rumah Tangga Nabi Saw yang ditulis Abdul Wahhab Hamudah, Ketika Rasulullah dikejutkan dengan kedatangan Jibril dan turunnya wahyu saat Beliau berada di gua Hira, Beliau pulang dengan rasa bingung dan penuh heran atas kejadian tersebut. Beliau berkata kepada Khadijah, “Sungguh saya merasakan ketakutan.”
Siti Khadijah Menenangkan Ketakutan Rasulullah
Namun ketakutan Rasulullah itu tidak berlangsung lama. Hatinya segera tenang setelah mendengar ucapan Siti Khadijah yang menyejukkan jiwa. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagai berikut: “Demi Allah, selamanya Dia tidak akan melecehkanmu. Kamu selalu menyambung tali kekeluargaan, menunaikan amanah, memuliakan dan menjamu tamu, dan berbuat kebenaran.”
Setelah itu, secepat kilat Siti Khadijah mendatangi anak paman beliau, Waraqah bin Naufal, untuk menceritakan kejadian yang menimpa suaminya. Walhasil, Waraqah memberi kabar baik kepada Khadijah, dengan mengatakan bahwa yang mendatangi Rasulullah adalah utusan agung (Jibril—red) yang juga pernah mendatangi Isa dan Musa a.s.
Khadijah Orang pertama yang membenarkan dan beriman kepada Rasulullah Saw
Ucapan Waraqah tersebut tentu saja mendinginkan hati Khadijah. Sehingga dia pulang dengan penuh kepercayaan pada dakwah suami. Maka, dialah orang pertama yang membenarkan dan beriman kepada Rasulullah Saw.
Siti Khadijah berupaya meringankan beban kejiwaan Rasulullah dengan peristiwa turunnya wahyu. Dia mengerti sesuatu yang tidak dimengerti oleh kebanyakan kaumnya, terutama tentang kebenaran misi agama. Dia juga tahu bahwa peristiwa yang terjadi pada suaminya itu merupakan kemuliaan dari Tuhan, serta meyakini bahwa suaminya adalah Rasul yang layak untuk diikuti.
Khadijah meminta Rasulullah untuk memberitahu bila Jibril datang
Diceritakan, suatu hari Siti Khadijah pernah meminta kepada Rasulullah untuk memberitahu dirinya bila Jibril datang. Ketika diberitahu, Khadijah berkata, “Duduklah di paha kiriku.” Beliau pun menuruti. Lalu dia bertanya, “Bisakah kamu melihatnya?” Rasulullah menjawab, “Ya.” Dia lalu melepas kerudungnya/hijabnya dan bertanya lagi. Rasulullah pun menjawab, “Sekarang saya tidak melihatnya,” Khadijah berkata lagi, “Hai anak paman, tegar dan bergembiralah, karena sesungguhnya dia adalah malaikat bukan setan.”
Eksperimen ini adalah puncak dari rasa keingintahuan Khadijah yang telah lama ditunggu untuk menguji kebenaran wahyu yang ada pada Beliau. Cinta Rasulullah pada Siti Khadijah.
BACA JUGA : BAB: PERTAMA TURUNNYA WAHYU
Khadijah senantiasa mendampingi Beliau di saat-saat sulit
Usia peristiwa itu, iman Siti Khadijah makin bertambah tebal. Selain cinta Rasulullah pada Siti Khadijah, demikian juga kecintaan dia kepada Beliau, sang suami, semakin kokoh. Sepuluh tahun pertama kenabian Rasulullah adalah tahun ujian bagi Beliau dan para sahabat, juga tantangan bagi dakwah Islam dalam segala bentuk. Namun, Siti Khadijah senantiasa mendampingi Beliau pada saat-saat tersebut, dan membantu dengan segala kekuatan, serta menghibur segala duka Beliau.
Ketika keadaan makin memuncak, Khadijah tidak pernah ragu menyertai suami (Rasulullah Saw) dalam berbagai cobaan, sekalipun pahit dirasakan. Dia tetap menolong dakwah Rasulullah dengan sabar dan tabah. Saat kaum Quraisy memperhebat intimidasi terhadap Bani Hasyim—dengan mengasingkan mereka di suatu perkampungan dan bahan melarang jatah air dan bahan makanan—Khadijah menyertai Rasulullah di tempat tersebut. Dia ikut merasakan derita seperti yang dirasakan suami dan kerabat Beliau, meski usianya makin menua dan fisiknya makin lemah.
Tahun Kesedihan dengan Wafatnya Istri dan Paman Beliau
Tatkala orang Quraisy kembali pada akal sehat mereka, dan membiarkan orang-orang Muslim yang berjuang dengan segala daya itu menghirup udara bebas, keadaan fisik Khadijah makin melemah dan penyakit menyerang tubuhnya akibat lama terisolir. Sehingga tak lama berselang, Khadijah wafat. Tepatnya, tanggal 10 Ramadhan tahun ke-10 kenabian, dalam usia 65 tahun.
Pada tahun yang sama, setelah kepergian Siti Khadijah, Allah menentukan bahwa Rasulullah juga akan kehialngan paman Beliau tercinta—yang mempertanahankan dan menjaga Beliau darin serangan musuh—yang Abu Thalib. Sehingga terkumpul sudah kesulitan besar dan musibah yang sangat berat dalam satu tahun tersebut pada diri Rasulullah. Karena itulah maka tahun ini dinamakan Tahun Kesedihan (‘Amul Husni).
Tidak diragukan lagi bahwa dalam dua musibah itu terdapat ujian yang berat dan luka yang sangat perih bagi Rasulullah. Telah hancur menara kebahagiaan rumah tangga Beliau, sehingga kehidupan Beliau kembali dipenuhi kesibukan di dalam maupun di luar rumah.
Teman terbaik dan kekasih termulia
Bagi Nabi Muhammad Saw terlalu agung untuk melupakan segala kebaikan Siti Khadijah, ummul mu’minin, teman terbaik dan kekasih termulia. Di antara keduanya telah tumbuh cinta yang paling murni dan kasih sayang yang paling suci selama belasan tahun, meski terentang jarak usia yang cukup jauh. Karena itu Beliau mencintanya baik semasa hidup maupun sesudah wafat, dan tidak menikahi wanita lain selama Khadijah masih hidup.
Lidah Beliau Saw sering menyebut-nyebut namanya
Setiap waktu, bayangan Khadijah masih tergambar dalam sanubari Beliau. Begitu pula lidah Beliau Saw sering menyebut-nyebut namanya. Dan saat putri Beliau, Zaenab, mengirim kalung—hadiah Khadijah saat pernikahannya—untuk menebus suaminya, Abu Al-Ash yang ditawan pasukan Muslimin saat perang Badar—hati Rasulullah tersentuh dan terbawa oleh keharuan yang dalam. Sehingga Beliau meminta para sahabat agar membebaskan Abu Al-Ash dan mengembalikan kalung tersebut untuk Zaenab.
Selalu mengutamakan teman-teman Khadijah
Lebih dari itu, apabila menyembelih domba, Beliau selalu mengutamakan teman-teman Khadijah untuk dihadiahi daging domba tersebut terlebih dahulu, baru kemudian yang lain. Selain itu Beliau hampir tidak pernah keluar rumah, kecuali menyebut nama Khadijah dan memujinya.
Kecemburuan Siti Aisiyah pada (Alm) Siti Khadijah
Lantaran Beliau sering menyebut nama Khadijah itulah, maka api cemburu Siti Aisyah suatu hari berkobar. Padahal Aisyah adalah istri Beliau Saw yang paling diutamakan, paling cantik, dan paling muda di antara mereka.
Diriwayatkan, dari Ibnu Atsir bahwa Aisyah pernah berkata, “Hampir tidak pernah Rasulullah keluar dari rumah kecuali menyebut Khadijah dan memujinya. Suatu hari Beliau menyebutnya, maka saya pun menjadi cemburu, lalu saya berkata, ‘Dia hanyalah seorang tua, sedangkan Allah telah memberimu ganti yang lebih baik dari dia.’
Rasulullah marah ketika Khadijah direndahkan
Ternyata, Beliau marah hingga bergetar bagian depan rambut Beliau. Lalu Beliau berkata, ‘Tidak, demi Allah, Dia tidak memberiku ganti yang lebih baik dari dia. Dia beriman kepadaku saat orang lain menjadi kafir; membenarkanku tatkala orang lain mendustakanku; membantuku dengan hartanya ketika orang lain mengharamkannya; serta darinya Allah memberiku keturunan yang tidak kudapati dari istriku yang lain.’”
Mendengar hal itu, Aisyah lalu berkata, “Kukatakan pada diriku, tidak akan berkata jelek lagi tentang Khadijah selamanya.”
Rasulullah Tinggal di Rumah Khadijah
Setelah Rasulullah menikah dengan Siti Khadijah, maka Beliau tinggal di rumah atau kediaman Ummul Mu’minin tersebut, yang terletak di sebuah jalan sempit di dalam kota Mekkah, dikenal dengan nama gang al-Aththarin. Rumah tersebut terdiri dari empat kamar. Yakni, tiga kamar berada di bagian dalam, dibagi satu satu kamar untuk putri-putri Beliau, satu untuk Beliau bersama Siti Khadijah, dan satu lagi dikhususkan untuk tempat ibadah Beliau. Sedangkan satu kamar lagi yang berada di bagian luar—terpisah dari ketiga kamar lain—diperuntukkan ruang tamu.
Rumah ini terletak tidak jauh dari Masjidil Haram. Karena memang umumnya rumah-rumah orang Quraisy berada di sekeliling, disebabkan kedudukan mereka yang lebih mulia dibandingkan suku-suku lain.
Rumah ini pernah menjadi saksi sejarah pernikahan Rasulullah, juga sebagai tempat Beliau bertolak dan pulang dari Gua Hira setelah menerima wahyu dari malaikat Jibril. Rasulllah tinggal di rumah ini sampai Beliau hijrah ke Madinah. Di rumah inilah dilahirkan anak-anak Beliau, kecuali Ibrahim yang dilahirkan di kota Madinah.
BACA JUGA : BAB: PERTAMA TURUNNYA WAHYU
Tinggal bersama delapan orang
Seluruh anak Beliau yang berada di rumah ini ada enam orang, yaitu dua putra dan empat putri. Hanya saja, kedua putra Beliau meninggal selagi masih kecil. Sehingga yang menempati rumah tersebut adalah Siti Khadijah dan empat putri Beliau, yaitu Zaenab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fathimah, putri bungsu Beliau.
Selanjutnya, Zaenab menikah dengan Abu Al-Ash—anak pamannya dari pihak ibu—lalu Ruqayyah dengan Utbah bin Abu Lahab, dan Ummu Kultsum dengan Utaibah bin Abu Lahab. Semua pernikahan itu berlangsung sebelum kenabian Muhammad Saw. Hanya saja, pernikahan Ruqayyah dan Ummu Kultsum tidak berlangsung lama, karena keduanya bercerai dan kembali ke rumah Beliau setelah turun surah Al-Lahab dari Allah SWT.
Kemudian, Ruqayyah menikah dengan Utsman bin Affan dan keduanya berhijrah ke Habasyah (Ethiopia). Maka, tinggallah kini yang mendiami rumah di Mekkah itu adalah Siti Khadijah bersama Rasulullah dan dua anak Beliau, yaitu Ummu Kultsum dan Fathimah. Lalu tiga tahun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, Siti Khadijah wafat. Sehingga bergabunglah dalam rumah tangga tersebut istri baru Rasulullah, yaitu Saudah binti Zam’ah.
Demikian sekilas gambar kehidupan Rasulullah Saw dengan istri tercinta beliau, Ummul Mu’minin Siti Khadijah. Beliau teman terbaik dan kekasih termulia. Terlalu agung untuk melupakan segala kebaikannya. Semoga kita dapat mengambil ibroh dan mauidhoh hasanah dari Sirah Nabawiyah ini, untuk kita teladani dan amalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Referensi :
- Abdul Wahhab Hamudah, Manajemen Rumah Tangga Nabi Saw, Penerjemah Ibnu Mukhtar, Pustaka Hidayah, Cetakan I Maret 2000.
Editor : Dezete