Bolehkah Muslim Shalat di Gereja?. Pada medio 2018 lalu viral seorang wanita muslimah tengah menunaikan shalat maghrib di sebuat gereja GPIP Pniel, sering juga disebut Gereja Ayam, di daerah Pasar Baru Jakarta. Rupanya apa yang dilakukan wanita itu sempat diabadikan oleh seseorang, yang kemudian dishare/diposting di media sosial (medsos). Karuan saja postingan tersebut langsung memantik reaksi atau tanggapan dari netizen dan beberapa tokoh, sehingga menjadi heboh.
Di satu sisi, netizen atau masyarakat sangat menyayangkan apa yang dilakukan oleh wanita tersebut. Mengingat masih banyak Masjid atau Musholla yang bisa dijadikan sebagai tempat untuk melaksanakan shalat di sekitar gereja tersebut. Tapi di sisi lain masyarakat juga memahami apa yang dilakukan wanita tersebut. Karena kemungkinan wanita tersebut tidak sempat mencari masjid/mushola yang terdekat dari gereja karena waktu yang tidak memungkinkan. Lantaran dia melaksanakan shalat maghrib, dimana waktunya tidaklah panjang. Jadi, Bolehkah Muslim Shalat di Gereja?
Tokoh nasional, Mahfudz MD yang saat itu masih menjadi anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), melalui akun Twitter pribadinya @mohmahfudmd ikut mencuit atau memberikan tanggapan atas peristiwa tersebut.
Kisah Pak Habibie Pernah Shalat di Gereja
Menurut Mahfudz, apa yang dilakukan wanita atau ibu juga pernah diakukan oleh mantan Presiden BJ Habibie (alm), saat beliau masih menempuh pendidikannya di Jerman dulu. “Itu juga yang dilakukan oleh Habibie dlm perjuangan beratnya ketika belajar di Jerman. Dia salat dan berdoa di sebuah gereja sambil menangis dlm munajat dan bertemu Romo Mangunwijaya di gereja tsb. Seluruh bumi ini adalah masjid (tempat bersujud). Islam adalah rahmat bagi alam,” cuit Mahfud MD saat itu.
Cuitan mantan Ketua MK itu langsung mendapat apresiasi dari warganet. Tapi ada pula yang menanyakan tentang boleh-tidaknya seorang muslim/muslimah menunaikan shalat di gereja atau tempat ibadah non-muslim lainnya. Maka, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia itupun menjawab bahwa menurutnya shalat itu arti lughawi-nya adalah doa, sehingga boleh dilakukan dimana saja. Kemudian, muncul pertanyaan, Bolehkah Muslim Shalat di Gereja?
Beliau kemudian mengutip ayat al-Qur’an yang termaktub dalam Surah Al-Baqarah ayat 115 :
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
Artinya: “Kemana saja kamu menghadap, maka di sana wajhullah (wajah Allah).”
Hukum Shalat di Gereja
Sebetulnya bagaimana hukum Islam memandang masalah ini? Apakah shalat di gereja atau rumah ibadah lain milik non-Muslim diperbolehkan atau dilarang? Ternyata setelah ditelusuri dari berbagai literasi, para ulama belum satu suara tentang hukum masalah ini.
Beda antara Masuk gereja dan Shalat di gereja
Para ulama fiqh membedakan antara sekedar masuk ke dalam gereja (tidak shalat) dan shalat di dalam gereja. Dalam kedua kasus itu mereka berbeda pendapat. Perdebatan ini dikemukakan dalam “Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah”, (Ensiklopedia Fiqh).
دخول المسلم معابد الكفار
اختلف الفقهاء فى جواز دخول المسلم معابد الكفار على أقوال : ذهب الحنفية الى أنه يكره المسلم دخول البيعة والكنيسة لأنه مجمع الشيطان. لا من حيث أنه ليس له حق الدخول . ويرى المالكية والحنابلة وبعض الشافعية أن المسلم دخول بيعة وكنيسة ونحوهما . وقال بعض الشافعية فى راي اخر لا يجوز للمسلم دخولها الا بإذنهم . (الموسوعة الفقهية جز ٣٨, ص ١٥٥).
“Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukum seorang muslim masuk gereja atau tempat peribadatan orang kafir. Mazhab Hanafi tidak menyukai muslim datang ke gereja, karena di situ tempat pertemuan setan. Tetapi bukan berarti tidak boleh. Mazhab Maliki, Mazhab Hambali dan sebagian Mazhab Syafi’i, membolehkan masuk gereja atau Sinagog atau tempat ibadah yang semacam itu. Sebagian pengikut mazhab Syafi’i membolehkan dengan syarat memeroleh izin mereka”. (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, vol. 38/155).
الصلاة فى معابد الكفار
نص جمهور الفقهاء على أنه تكره الصلاة فى معابد الكفار إذا دخلها مختارا . أما أن دخلها مضطرا فلا كراهة. وقال الحنابلة تجوز الصلاة فيها من غير كراهة على الصحيحة من المذهب. وروى عن أحمد تكره. وقال الكسانى من الحنفية لا يمنع المسلم أن يصلى فى الكنيسة من غير جماعة لأنه ليس فيه تهاون ولا استخفاف. (الموسوعة الفقهية، ج ٣٨ ص ١٥٥).
Tiga Pendapat Boleh-Tidaknya Shalat di Gereja
Sedangkan tentang shalat di tempat-tempat peribadatan non-Muslim (gereja, sinagog, kuil, kelenteng, dan lain sebagainya), setidaknya terdapat tiga pendapat pada masalah ini atau terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) di antara pada ulama.
Pendapat pertama: Makruh
Pendapat pertama: Makruh shalat di tempat-tempat peribadatan non-Muslim (gereja, sinagog, kuil, kelenteng, dan lain sebagainya).
Pendapat ini dinukil dari Umar dan Ibnu Abbas dan pendapat sejumlah ulama Hanafiyyah, Imam Malik, mazhab Syafi’iyyah, dan Hambali. Alasannya, karena di gereja terdapat patung (atau gambar makhluk hidup).
Mayoritas ahli fiqh memutuskan “makruh” (kurang baik), seorang muslim shalat di tempat-tempat ibadah orang kafir jika ia menginginkannya. Tetapi tidak makruh jika terpaksa.
Pendapat kedua: Boleh/Mubah
Pendapat kedua: Boleh/Mubah shalat di tempat-tempat peribadatan non-Muslim (gereja, sinagog, kuil, kelenteng, dan lain sebagainya).
Ini adalah pendapat Al-Hasan, Umar bin Abdul Aziz, dan Asy-Sya’bi, yang merupakan mazhab Hanabilah. Dengan syarat tidak ada patung (atau gambar makhluk hidup) di dalamnya. Pendapat sejumlah ulama Hanafiyyah, shalat di gereja merupakan bentuk penghormatan terhadap mereka.
Mazhab Hambali juga membolehkan shalat di tempat-tempat itu, tidak makruh. Al-Kasani dari Mazhab Hanafi malah mengatakan, “Tidak boleh melarang muslim shalat sendirian (tidak berjamaah) di gereja. Itu bukan melecehkan atau merendahkan kaum muslimin”. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, vol. 38/155).
Ibnu Qudamah (w. 1223 M), ahli fiqh besar dalam mazhab Hambali mengatakan :
“ولا بأس بالصلاة في الكنيسة النظيفة، رخص فيها الحسن و عمر بن عبد العزيز والشعبي والأوزاعي وسعيد بن عبد العزيز وروي عن عمر وأبي موسى , وكره ابن عباس و مالك الكنائس من أجل الصور , ولنا أن النبي صلى الله عليه و سلم صلى في الكعبة وفيها صور ثم هي داخلة في قوله عليه السلام: “فأينما أدركتك الصلاة فصل فإنه مسجد”. (المغنى 1 ص ٧٢٣)
“Tidak ada masalah seorang muslim shalat di tempat yang bersih di gereja. Ini pendapat Al-Hasan, Umar bin Abd al-Aziz, al-Sya’bi, al-Auza’i, Sa’id bin Abd al-Aziz, konon juga Umar bin Khattab dan Abu Musa al-Asy’ari. Sementara Ibnu Abbas dan Imam Malik, berpendapat “makruh” (kurang baik) karena di sana ada gambar patung. Menurut kami (tidak demikian), Nabi pernah masuk ke dalam Ka’bah yang di dalamnya ada gambar patung. Lagi pula shalat di situ termasuk dalam ucapan Nabi: ‘Jika waktu shalat telah tiba, kerjakan shalat di manapun, karena di manapun bumi Allah adalah masjid (tempat sujud).’” (Al-Mughni, I/759).
Pendapat ketiga: Haram
Pendapat ketiga: Haram shalat di tempat-tempat peribadatan non-Muslim (gereja, sinagog, kuil, kelenteng, dan lain sebagainya), karena merupakan tempatnya setan-setan.
Ibnu Taimiyah konon adalah ulama yang mengharamkan. Tetapi saat ditanya mengenai kasus ini menyebut tiga alternatif, yaitu Tidak Boleh dan Boleh. Kemudian dia mengatakan:
والثالث : وهو الصحيح المأثور عن عمر بن الخطاب وغيره وهو منصوص عن أحمد وغيره أنه إن كان فيها صور لم يصل فيها لأن الملائكة لا تدخل بيتا فيه صورة ولأن النبي صلى الله عليه وسلم لم يدخل الكعبة حتى محي ما فيها من الصور
Pendapat yang ketiga dan ini yang shahih berdasarkan kisah Umar bin al-Khattab, dan pendapat Imam Ahmad dan lainnya. Jika di dalam gereja itu ada gambar, maka tidak boleh shalat, karena Malaikat tidak akan mau masuk di rumah yang di dalamnya ada gambar, dan karena Nabi tidak masuk ke Ka’bah sampai gambar yang ada di dalamnya dibuang.
Pandangan Ibnu Taimiyah ini tidak menyebutkan secara jelas apakah tidak shalat itu berarti haram atau makruh saja. Orang bisa menafsirkan secara berbeda. Lagi pula hadits yang jadi argumennya juga problematik. Apakah setiap rumah yang ada gambarnya tidak boleh ditempati untuk shalat, karena Malaikat tidak akan masuk ke dalamnya?
Pendapat terkuat: Dimakruhkan
Dari ketiga pendapat tersebut, pendapat yang lebih kuat yaitu dimakruhkan shalat di gereja jika ada patung-patung. Namun jika tidak ada patung maka hukumnya mubah. Akan tetapi, tidak boleh bagi seseorang meninggalkan shalat di Masjid dengan maksud ingin shalat di gereja. Maka yang wajib, jika menemukan Masjid hendaknya shalat di sana dan janganlah berpaling ke yang lain. Ini yang perlu digarisbawahi, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ
“(Cahaya itu) di rumah-rumah yang di sana telah diperintahkan Allah untuk memuliakan dan menyebut nama-Nya, di sana bertasbih (menyucikan) nama-Nya pada waktu pagi dan petang.” (QS. An-Nur: 36)
BACA JUGA : Muslim Keras Terhadap Non-Muslim ?
Pendapat Syekh Yusuf Qardhawi
Sementara itu, Syekh Yusuf Qardhawi mengutip sebuah hadits yang berasal dari Rasulullah Saw, beliau bersabda, “Kepadaku diberikan lima perkara yang tidak pernah diberikan kepada siapapun sebelumku..” Setelah itu beliau menyebut lima perkara itu, kemudian melanjutkan, “…Bagiku bumi ini dijadikan masjid dan thahur (suci dan menyucikan). Di manapun seorang dari umatku berada, bila waktu shalat telah tiba, hendaklah ia shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Jabir r.a.)
Dibolehkan Shalat di gereja jika tidak ada tempat lain
Atas dasar hadits tersebut tiap muslim boleh memandang seluruh permukaan bumi ini sebagai masjid, tempat ia bersembah sujud kepada Allah. Di bagian bumi manapun saja ia boleh menunaikan shalat. Meskipun sebaiknya tidak menggunakan tempat-tempat seperti itu (gereja, kuil, kelenteng, dan lain sebagainya). Sehingga, bolehkah Muslim Shalat di Gereja? Tetapi jika memang tdiak ada tempat selain itu, bolehlah ia menunaikan shalat di tempat-tempat (rumah ibadah non-Muslim) tersebut. Karena bumi ini adalah milik Allah dan masjid, yakni tempat bersembah sujud, bagi kaum muslim.
Kisah Khalifah Umar menolak Shalat di gereja
Syekh Yusuf Qardhawi mengungkapkan, Khalifah Umar bin Khattab r.a. pernah nyaris shalat di dalam gereja al-Qiyamah, yaitu gereja yang dibangun oleh Kaisar Konstantin (tahun 326 M) di atas pusara Isa al-Masih, kemudian dipugar oleh kaum Salib (1130-1149 M).
Saat itu Umar datang ke Yerusalem untuk mengadakan perjanjian dengan kaum Nasrani di sana. Perjanjian itu dikenal “Mu’ahadah Eliya”, sebutan untuk daerah di Yerusalem Timur. Umar tiba di gereja. Tak lama kemudian waktu shalat tiba. Uskup mempersilakan Umar shalat di dalam gereja.
Akan tetapi kemudian ia menjawab, “Tidak. Saya tidak akan shalat di tempat ini agar kaum Muslimin sepeninggalku tidak mengatakan ‘Dulu Umat shalat di sini’, lalu mereka menjadikan sebagian dari gereja ini sebagai masjid bagi kaum Muslimin.” Artinya, beliau menolak dan memilih shalat di luarnya.
Dari jawaban tersebut jelas, bahwa yang membuatnya tidak mau shalat di dalam gereja itu hanyalah kekhawatiran akan diikuti oleh umat Islam, bukan karena tempat gereja itu.
Ibnu Hajar dalam bukunya “Fath al-Bari”
Ibnu Hajar dalam bukunya yang terkenal “Fath al-Bari” dalam Bab Shalat di Gereja/Sinagog, mengungkap peristiwa Umar bin Khattab tersebut:
باب الصلاة في البيعة وقال عمر رضي الله عنه إنا لا ندخل كنائسكم من أجل التماثيل التي فيها الصور
Dan Umar mengatakan, “Kami tidak mau masuk ke gereja kalian karena di sana ada patung-patung dan gambar-gambar.”
Jadi Umar bukan melarang shalat di gereja. Ia tidak shalat di dalam gereja itu karena masih ada gambar atau patung. Seperti halnya Umar, Ibnu Abbas juga berkenan shalat di gereja, dengan syarat jika di dalamnya tidak ada patung. “Kana Ibn Abbas Yushalli fi al-Bi’ah Illa Bi’ah fiha Tamatsil”.
Informasi Ibnu Abi Syaibah bahwa banyak sahabat Nabi masuk gereja
Ibnu Abi Syaibah menginformasikan kepada kita bahwa banyak sahabat Nabi masuk gereja dan shalat di sana, antara lain Abu Musa al-Asy’ari shalat di sebuah gereja di Damaskus, Syria.
ثبوت دخول الصحابة رضوان الله عليهم إلى الكنائس وصلاتهم فيها, فصلى أبو موسى رضي الله عنه بكنيسة بدمشق اسمها نحيا. (ابن أبي شيبة 4871).
Demikianlah uraian tentang boleh-tidaknya menunaikan shalat di rumah-rumah ibadah milik non-Muslim, yang dikupas dari berbagai sudut pandang para ulama dan ahlinya. Semoga kita semua mendapatkan manfaat dan ilmu yang barokah, sehingga bisa menambah wawasan dan pencerahan buat kita.
Referensi :
- Fatwa-Fatwa Mutakhir Dr. Yusuf al-Qardhawi, Yayasan al-Hamidy dan Pustaka Hidayah, Cetakan Keempat, Maret 2000.
- Publica-news.com, 3 Juni 2018; fahmina.or.id, 2 Maret 2018; muslim.or.id, 16 Mei 2021.
Author & Editor : Dezete