Mandi Junub

Mandi Junub Kedahsyatan Hikmah di Balik Syariat

Mandi Junub adalah kewajiban yang telah ditetapkan oleh agama Islam. Ketetapan syariat mengenai hal itu tidak diragukan lagi, baik menurut Kitabullah Al-Qur’an, Sunnah (Hadits) maupun menurut Ijma’ (kebulatan pendapat semua ulama Islam dan kaum muslimin).




Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an:

وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ

Artinya: “Jika kalian junub, maka bersucilah (mandilah).” (QS. Al-Ma’idah: 6)

Firman Allah lainnya dalam QS. An-Nisa’ Ayat 43:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكَارٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗوَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا

Artinya: “Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.”




Mandi Junub Merupakan Keharusan (Fardhu)

Syekh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan, di dalam Sunnah banyak sekali hadits-hadits muttafaq’alaih mengenai soal junub. Segenap kaum muslim dari semua madzhab dan sepanjang zaman, seluruhnya berpendapat bulat bahwa mandi junub merupakan keharusan (fardhu) yang wajib dilakukan setelah bersenggama atau setelah inzal (mengeluarkan mani).



Ketentuan itu merupakan bagian dari hukum syariat Islam yang wajib diketahui oleh segenap muslim. Orang yang menolak atau mengingkari kewajiban tersebut dipandang telah keluar meninggalkan agama Islam dan tidak berhak lagi menamakan dirinya “muslim”, kecuali jika penolakannya itu disebabkan oleh ketidaktahuan karena baru memeluk Islam, atau karena ia hidup dan dibesarkan di daerah terpencil jauh dari permukiman kaum muslimin.



Hikmah mandi junub sekujur badan

Mengenai pertanyaan tentang hikmah mandi sekujur badan, padahal yang terkena kotoran hanya sebagian kecil saja, Syekh Yusuf al-Qardhawi mengemukakan: Jika seorang dokter menyuruh pasiennya minum obat satu sendok sebelum makan, kemudian minum obat lainnya dua sendok sesudah makan, tambah lagi dengan beberapa butir tablet pada waktu-waktu tertentu, apakah pasien (penderita penyakit) itu perlu bertanya kepada dokter: mengapa obat ini harus diminum sesudah makan dan obat yang lain harus diminum sebelum makan? Mengapa saya harus menelan tiga butir tablet besar dan satu tablet kecil?



Seumpama dokter lalu menguraikan kegunaan obat-obat itu secara rinci, kemudian menerangkan juga rahasia komponen obat dan kecocokannya untuk menyembuhkan penyakit, apakah pasien itu dapat memahami semua yang diuraikan oleh dokter? “Itulah yang perlu saya katakan kepada orang yang ingin mengetahui rahasia bentuk ibadah secara rinci, antara lain soal thaharah dan soal mandi,” ucap Syekh Qardhawi.




Semua bentuk ibadah adalah obat bagi manusia

Imam Ghazali mengatakan, bahwa semua bentuk ibadah adalah obat bagi manusia, menyembuhkannya dari penyakit lalai, sombong, dan lupa akan kewajiban terhadap al-Khaliq. Adalah hak Allah SWT untuk merahasikan komponen obar-obat rohani seperti itu. Atas kepemurahan-Nya kadang-kadang kita dikaruniai pengertian mengenai banyak rahasia yang terkandung di dalam obat-obatan. Bagi orang beriman cukuplah mengetahui bahwa apa yang diperintahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya pasti mengandung kebajikan dan kemaslahatan. Maha Benar Allah yang telah berfirman:

وَاللّٰهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ

Artinya: “Allah Maha Mengetahui (perebadaan antara) yang merusak dan yang memperbaiki.”




Allah SWT juag berfirman di dalam QS. Al-Mulk ayat 43:

اَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَۗ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ ࣖ

Artinya: “Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.”

 

Banyak bentuk ibadah tanpa diketahui rahasianya

Betapa banyak bentuk ibadah yang dilakukan oleh kaum muslimin tanpa mereka ketahui rahasia hikmahnya, tetapi roda perkembangan terus berputar maju dan ilmu pengetahuan pun makin banyak mengungkapkan hikmah dan manfaat yang terkandung di dalam berbagai perintah Allah dan mensyukuri karunia nikmat-Nya, baik manusia mengetahui hikmah ibadah yang dilakukannya ataupun tidak.

Tuhan berhak memerintah dan melarang, sedangkan manusia berkewajiban menaati dan mematuhi-Nya. Kalau manusia hanya mau menaati hal-hal yang terjangkau oleh akal pikirannya yang terbatas, maka persoalannya menjadi lain:  Ia patuh bukan kapada Allah, Tuhannya, melainkan patuh kepada akal pikirannya sendiri. Orang beriman dipersilahkan memilih mana yang terbaik bagi dirinya.



Pendapat Ibnu al-Qayyim tentang Mandi Junub

Selain yang telah utarakan diatas semuanya, tiap orang yang berpikir lurus dan berpandangan jauh pasti dapat memahami hikmah mandi junub. Sehubungan dengan itu Yusuf Qardhawi tertarik oleh jawaban yang diberikan oleh Imam Ibnu al-Qayyim kepada orang yang heran memikirkan, mengapa Islam membedakan keluarnya mani dari keluarnya air kencing. Mengapa syariat Islam mewajibkan orang mandi setelah mengeluarkan air mani dan tidak mewajibkannya kepada orang yang mengeluarkan air kencing. Ia berkata sebagai berikut:




Mandi junub sangat besar faedahnya bagi badan, hati dan jiwa

“Itu merupakan kebesaran syariat Islam dan semua rahmat, hikmah serta kemaslahatan yang tercakup di dalamnya. Air mani keluar dari semua bagian tubuh, karena itu Allah menamainya sulalah, karena air mani memang terlepas dari sekujur tubuh/badan. Pada saat air mani keluar pengaruhnya di badan terasa jauh lebih besar daripada keluarnya air kencing. Mandi sesudah mengeluarkan mani sangat besar faedahnya bagi badan, hati dan jiwa. Tiga-tiganya akan menjadi segar kembali setelah mandi. Mandi akan memulihkan sesuatu yang terasa hilang akibat keluarnya air mani, yang hanya dapat diketahui dengan rasa (sense). Junub menimbulkan perasaan berat dan malas. Dengan mandi orang akan merasakan kembali keringanan dan kesegaran badannya.

Dengan mandi junub seolah beban berat terlemparkan

Karena itu Abu Dzar pernah berkata setelah mandi junub, ‘Seolah-olah beban berat kulemparkan dari pundakku.’ Ringkasnya, semuanya itu dapat dimengerti oleh orang yang berpikir lurus dan berperasaan sehat. Tidak ada kesulitan untuk mengerti bahwa mandi junub adalah suatu maslahat yang sangat dibutuhkan untuk menyegarkan badan dan jiwa. Sebagaimana yang dikatakan oleh para tabib, mandi sehabis bersenggama mengembalikan kesehatan badan, memulihkan sesuatu yang terasa hilang dan sangat besar faedahnya bagi jasmani dan rohani. Mengabaikan mandi junub berbahaya bagi kesehatan.

Kebaikan mandi junub cukup dimengerti oleh akal pikiran dan fitrah

Kebaikan yang didatangkan oleh mandi junub cukup mudah dimengerti dengan akal pikiran dan fitrah. Seumpama syariat mewajibkan orang mandi sesudah kencing tentu sangat berat dirasakan oleh umat Islam. Hikmah Ilahi tidak menghendaki hal itu, dan itu merupakan rahmat serta kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya.” Demikian ungkap Ibnu al-Qayyim.




Perasaan Berat Melaksanakan Mandi Junub

Perasaan berat melaksanakan mandi junub setelah bersenggama memang tidak mustahil. Sebabnya ialah karena orang yang bersenggama tidak sekerap orang yang kencing. Perasaan berat itu seolah-olah membatasi dan mengembalikan agar manusia tidak mudah terseret oleh rangsangan naluri syahwatnya dan tidak berlebih-lebihan melakukan hubungan seksual, suatu perbuatan yang berbahaya.

Orang beriman tidak hidup semata untuk menuruti naluri syahwat

Selain itu Syekh Yusuf al-Qardhawi melihat masih ada rahasia hikmah yang lain lagi, yaitu bahwa orang beriman tidak hidup semata-mata untuk menuruti tuntutan naluri syahwatnya saja. Di atas segala-galanya ia hidup untuk melakukan tugas yang diamanatkan Allah kepadanya. Semua amal perbuatan yang dilakukan wajib dipersembahkan kepada Allah demi keridhaan-Nya. Dengan bersenggama ia telah memenuhi kewajiban terhadap dirinya sendiri dan terhadap istrinya, yakni memenuhi kebutuhan syahwat yang sudah menjadi fitrah manusia. Setelah itu ia tinggal memenuhi kewajiban terhadap Allah, Tuhannya, yaitu keharusan mandi junub.

Keharusan membersihkan badan dari kotoran alamiah

Itu erat sekali kaitannya dengan keharusan membersihkan badan dari kotoran yang ditimbulkan oleh sebab-sebab alamiah dan yang tidak dapat dielakkan. Misalnya sesudah buang air besar atau air kecil orang harus berwudhu lebih dulu sebelum menghadapkan dirinya kepada Allah. Demikian pula setelah bersenggama, ia harus mandi membersihkan diri lebih dulu sebelum menghadap Allah, Tuhannya. Hikmah yang dimaksud dengan ber-thaharah demikian itu ialah mencambuk dan memaksa manusia agar segera membersihkan bagian-bagian badan tertentu yang langsung terkena kotoran, dan membersihkan juga semua bagian badan lainnya.




 

Hadits Seputar Mandi Junub dalam Kitab Bulughul Maram

Mandi karena keluar mani

  عَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليهوسلم – – اَلْمَاءُ مِنْ اَلْمَاءِ – رَوَاهُ مُسْلِم  وَأَصْلُهُ فِي اَلْبُخَارِيّ

 

Dari Abu Sa’id Al-Khudri r.a., ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Air itu dari air (mandi junub itu disebabkan karena keluar mani).” (Diriwayatkan oleh Muslim, dan asalnya hadits ini dari Al-Bukhari). [HR. Bukhari, no. 180 dan Muslim, no. 343, 345]

 

Mandi karena hubungan intim walau tidak keluar mani

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اَلْأَرْبَعِ, ثُمَّ جَهَدَهَا, فَقَدْ وَجَبَ اَلْغُسْلُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه  زَادَ مُسْلِمٌ: “وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ “

 

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jika seseorang telah benar-benar melakukan hubungan intim dengan istrinya lantas bertemu dua kemaluan, ia diwajibkan untuk mandi.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 291 dan Muslim, no. 348]. Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, “Walaupun tidak keluar mani.” [HR. Muslim, no. 348]




Wanita juga diperintahkan mandi junub jika keluar mani

وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ; أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ -وَهِيَ اِمْرَأَةُ أَبِي طَلْحَةَ- قَالَتْ: – يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ اَللَّهَلَا يَسْتَحِي مِنْ اَلْحَقِّ, فَهَلْ عَلَى اَلْمَرْأَةِ اَلْغُسْلُ إِذَا اِحْتَلَمَتْ? قَالَ: “نَعَمْ. إِذَا رَأَتِالْمَاءَ” – اَلْحَدِيثَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Dari Ummu Salamah r.a., bahwasanya Ummu Sulaim–ia adalah istrinya Abu Thalhah–berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidaklah malu menyebutkan kebenaran. Apakah wanita tetap mandi junub jika mimpi basah?” Nabi Saw menjawab, “Iya, tetap mandi junub jika ia melihat air.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 282 dan Muslim, no. 313]

 

Mandi karena memandikan jenazah

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – كَانَ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – يَغْتَسِلُ مِنْ أَرْبَعٍ: مِنْ اَلْجَنَابَةِ, وَيَوْمَ اَلْجُمُعَةِ, وَمِنْ اَلْحِجَامَةِ, وَمِنْ غُسْلِ اَلْمَيِّتِ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة َ

Dari Aisyah r.a., ia berkata, “Nabi Saw mandi karena empat hal: karena junub, hari Jumat, berbekam, dan memandikan jenazah.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah) [HR. Abu Daud, no. 348, 3160; Ibnu Khuzaimah, no. 256; Al-Hakim, 1:268. Hadits ini dhaif sebagaimana dikatakan oleh Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:19-21].




Hukum orang junub tidur sebelum mandi

وَلِلْأَرْبَعَةِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليهوسلم – يَنَامُ وَهُوَ جُنُبٌ, مِنْ غَيْرِ أَنْ يَمَسَّ مَاءً – وَهُوَ مَعْلُولٌ

Dikeluarkan oleh yang empat dari Aisyah r.a., ia berkata, “Rasulullah Saw pernah tidur dalam keadaan junub tanpa mandi terlebih dahulu.” (Hadits ini ma’lul, punya cacat) [HR. Abu Daud, no. 228; Tirmidzi, no. 118, 119; An-Nasai dalam Al-Kubra, 8:212; Ibnu Majah, no. 583. Hadits ini punya cacat sebagaimana kata Imam Ibnu Hajar].

 

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَيَرْقُدُ أَحَدُنَا وَهْوَ جُنُبٌ قَالَ نَعَمْ إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرْقُدْ وَهُوَ جُنُبٌ

Dari Ibnu ‘Umar r.a., ia berkata bahwa ‘Umar bin Al-Khattab pernah bertanya pada Rasulullah Saw, “Apakah salah seorang di antara kami boleh tidur sedangkan ia dalam keadaan junub?” Beliau menjawab, “Iya, jika salah seorang di antara kalian junub, hendaklah ia berwudhu lalu tidur.” (HR. Bukhari, no. 287 dan Muslim, no. 306).




Dari ‘Aisyah r.a., ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهْوَ جُنُبٌ ، غَسَلَ فَرْجَهُ ، وَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ

“Nabi Saw biasa jika dalam keadaan junub dan hendak tidur, beliau mencuci kemaluannya, lalu berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat.” (HR. Bukhari, no. 288).

‘Aisyah pernah ditanya oleh ‘Abdullah bin Abu Qais mengenai keadaan Nabi Saw,

كَيْفَ كَانَ يَصْنَعُ فِى الْجَنَابَةِ أَكَانَ يَغْتَسِلُ قَبْلَ أَنْ يَنَامَ أَمْ يَنَامُ قَبْلَ أَنْ يَغْتَسِلَ قَالَتْ كُلُّ ذَلِكَ قَدْ كَانَ يَفْعَلُ رُبَّمَا اغْتَسَلَ فَنَامَ وَرُبَّمَا تَوَضَّأَ فَنَامَ. قُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى جَعَلَ فِى الأَمْرِ سَعَةً.

“Bagaimana Nabi Saw jika dalam keadaan junub? Apakah beliau mandi sebelum tidur ataukah tidur sebelum mandi?” ‘Aisyah menjawab, “Semua itu pernah dilakukan oleh beliau. Kadang beliau mandi, lalu tidur. Kadang pula beliau wudhu, barulah tidur.” ‘Abdullah bin Abu Qais berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan segala urusan begitu lapang.” (HR. Muslim, no. 307).

BACA JUGA: KITAB PUASA ; BAB: SAHNYA PUASA ORANG YANG JUNUB (BERJANABAT)

Tata cara mandi junub

Dari ‘Aisyah r.a.

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا اِغْتَسَلَ مِنْ اَلْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ, ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ, فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ, ثُمَّ يَتَوَضَّأُ, ثُمَّ يَأْخُذُ اَلْمَاءَ, فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ اَلشَّعْرِ, ثُمَّ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ, ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ, ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِم ٍ

Dari ‘Aisyah r.a., ia berkata, apabila Rasulullah Saw mandi junub (mandi karena keluar mani atau hubungan intim, pen.), beliau memulai dengan mencuci kedua telapak tangannya, kemudian menuangkan air pada kedua telapak tangan. Lalu beliau mencuci kemaluannya. Selanjutnya, beliau berwudhu. Lantas beliau mengambil air, lalu menyela-nyelai pangkal rambut dengan jari-jarinya. Kemudian beliau menyiramkan air di kepala dengan mencedok tiga kali (dengan kedua telapak tangan penuh, pen.). Lalu beliau menuangkan air pada anggota badan yang lain. Kemudian, beliau mencuci kedua telapak kakinya. (Muttafaqun ‘alaih. Lafazhnya dari Muslim) [HR. Bukhari, no. 248 dan Muslim, no. 316]



وَلَهُمَا فِي حَدِيثِ مَيْمُونَةَ: – ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى فَرْجِهِ, فَغَسَلَهُ بِشِمَالِهِ, ثُمَّ ضَرَبَ بِهَا اَلْأَرْضَ- وَفِي رِوَايَةٍ: – فَمَسَحَهَا بِالتُّرَابِ – وَفِي آخِرِهِ: – ثُمَّ أَتَيْتُهُ بِالْمِنْدِيلِ – فَرَدَّهُ, وَفِيهِ: – وَجَعَلَ يَنْفُضُ الْمَاءَ بِيَدِهِ –

Juga dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Maimunah, “Kemudian beliau mencuci (menuangkan sambil air mengalir, pen.) kemaluannya dengan tangan kirinya, lalu beliau menggosok tangannya ke tanah.”

Dalam riwayat lain disebutkan, “Beliau mengusap (menggosok) telapak tangannya di tanah (untuk menghilangkan sesuatu yang masih menempel saat mencuci kemaluan, pen.).”



Dalam riwayat lain disebutkan pula, “Kemudian aku (Maimunah) menawarkan beliau kain (handuk), tetapi beliau tidak mengambilnya.” Dalam riwayat disebutkan, “Beliau menghilangkan air yang menempel pada badan dengan tangannya.” [HR. Bukhari, no. 249 dan Muslim, no. 317]

Dari Maimunah

Tata cara mandi junub dalam hadits Maimunah secara lengkap adalah:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَتْ مَيْمُونَةُ وَضَعْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَاءً يَغْتَسِلُ بِهِ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ ، فَغَسَلَهُمَا مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ ، فَغَسَلَ مَذَاكِيرَهُ ، ثُمَّ دَلَكَ يَدَهُ بِالأَرْضِ ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ غَسَلَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى جَسَدِهِ ، ثُمَّ تَنَحَّى مِنْ مَقَامِهِ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ

Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan air mandi untuk Rasulullah Saw. Lalu beliau menuangkan air pada kedua tangannya dan mencuci keduanya dua kali-dua kali atau tiga kali. Lalu dengan tangan kanannya beliau menuangkan air pada telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya. Setelah itu beliau menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Lalu beliau membasuh muka dan kedua tangannya. Kemudian beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh badannya. Setelah itu, beliau bergeser dari posisi semula lalu mencuci kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari, no. 265 dan Muslim, no. 317)

Hadits- hadits di atas bisa menjadi dasar bagaimana cara mandi junub pria.

Hukum melepas ikatan rambut untuk wanita ketika mandi

وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – قُلْتُ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ إِنِّي اِمْرَأَةٌ أَشُدُّ شَعْرَ رَأْسِي, أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ اَلْجَنَابَةِ? وَفِي رِوَايَةٍ: وَالْحَيْضَةِ? فَقَالَ: “لَا, إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِي عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ” – رَوَاهُ مُسْلِم ٌ

Dari Ummu Salamah r.a., ia berkata, “Aku berkata pada Rasulullah Saw, ‘Wahai Rasulullah, aku adalah wanita yang biasa mengikat rambutku. Apakah aku harus melepas ikatan rambut tersebut saat mandi junub dan—menurut riwayat lain–mandi haidh?’”

Nabi Saw bersabda, “Tidak perlu (melepas ikatan rambut saat mandi). Cukup bagimu mengguyurkan air di atas kepalamu sebanyak tiga kali cedok (ukuran kedua telapak tangan penuh berisi air).” (Diriwayatkan oleh Muslim) [HR. Muslim, no. 330]




‘Aisyah r.a. mendapatkan berita bahwa ‘Abdullah bin ‘Amr r.a. memerintahkan para wanita untuk melepaskan ikatan rambut saat mereka mandi (wajib). Aisyah r.a. lantas berkata,

يَا عَجَبًا لاِبْنِ عَمْرٍو هَذَا يَأْمُرُ النِّسَاءَ إِذَا اغْتَسَلْنَ أَنْ يَنْقُضْنَ رُءُوسَهُنَّ أَفَلاَ يَأْمُرُهُنَّ أَنْ يَحْلِقْنَ رُءُوسَهُنَّ لَقَدْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَلاَ أَزِيدُ عَلَى أَنْ أُفْرِغَ عَلَى رَأْسِى ثَلاَثَ إِفْرَاغَاتٍ

“Sungguh aneh Ibnu ‘Amr ini. Ia memerintahkan para wanita untuk melepas ikatan rambut mereka saat mandi?! Kenapa ia tidak sekalian menyuruh para wanita untuk mencukur rambut mereka? Aku sendiri pernah mandi bersama Rasulullah Saw lewat satu wadah. Aku tidaklah menambah lebih dari tiga kali siraman ketika menyiram kepalaku.” (HR. Muslim, no. 331)

 

Hukum mandi suami istri bersama-sama dari satu wadah

وَعَنْهَا قَالَتْ: – كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ, تَخْتَلِفُ أَيْدِينَا فِيهِ مِنَ اَلْجَنَابَةِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ زَادَ اِبْنُ حِبَّانَ: وَتَلْتَقِي

 

Dari ‘Aisyah r.a., ia berkata, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah Saw dari satu wadah. Kami saling bergantian dalam menciduk air ketika mandi junub.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 261 dan Muslim, no. 321, 45]

Ada tambahan dari Ibnu Hibban, “Tangan kami juga saling bertemu ketika mengambil dan menciduk dari wadah.” [HR. Ibnu Hibban, 3:395]

 

Wajib mandi ketika junub

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – إِنَّ تَحْتَ كُلِّ شَعْرَةٍ جَنَابَةً, فَاغْسِلُوا اَلشَّعْرَ, وَأَنْقُوا اَلْبَشَرَ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَضَعَّفَاه ُ

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya di bawah setiap helai rambut ada janabat. Cucilah rambut dan bersihkanlah kulit.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi. Keduanya mendhaifkan hadits ini) [HR. Abu Daud, no. 248; Tirmidzi, no. 106; Ibnu Majah, no. 597. Hadits ini dhaif sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:67].

Hadits lainnya:

وَلِأَحْمَدَ عَنْ عَائِشَةَ نَحْوُهُ, وَفِيهِ رَاوٍ مَجْهُول ٌ

Menurut riwayat Imam Ahmad dari ‘Aisyah r.a. terdapat hadits yang serupa. Di dalamnya ada rawi yang majhul (tidak dikenal). [HR. Ahmad, 31:306. Hadits ini sanadnya dhaif sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:68].




Demikian sekilas tentang pembahasan berkaitan dengan disyaraitkannya mandi junub bagi yang keluar mani atau yang telah melakukan hubungan suami-istri. Sumbernya berasal dari fatwa-fatwa Syekh Yusuf al-Qardawi maupun kumpulan hadits dalam Kitab Bulughul Maram yang ditulis oleh Ibnu Hajar al-Asqalani. Semoga makin menambah khazanah pengetahuan kita tentang ilmu-ilmu keislaman.

Adapun pertanyaan dari pembaca antara lain mengenai doa mandi junub setelah haid, doa setelah mandi junub,doa niat mandi junub, atau Apakah Perbedaan Cara Mandi Wajib Diantara Lelaki & Perempuan?, akan kami sajikan dalam artikel berikutnya tentang mandi junub.

 

Referensi :

  • Fatwa-Fatwa Mutakhir Dr. Yusuf al-Qardhawi, Yayasan al-Hamidy dan Pustaka Hidayah, Cetakan Keempat, Maret 2000.
  • Al-Hafizh Ibnu hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram min Adillat al-Ahkam, terjemahan Pesantren Persis Bangil, tahun 1991.

Editor : Dezete



Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top
Scroll to Top