nyanyian dan musik

4 Pandangan Yusuf Qardhawi Tentang Nyanyian dan Musik

Mendengarkan nyanyian dan musik atau bermain musik, oleh beberapa orang diharamkan. Bahkan ada kelompok dalam Islam, yang juga telah sampai ke Indonesia, yang begitu getol mengharamkan nyanyian dan musik. Namun demikian, ormas Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, bersikap lebih moderat dan bijak dalam memandang fenomena nyanyian dan musik ini. Kedua ormas tersebut tidak mau ikut-ikutan begitu saja mengharamkan nyanyian dan musik, bahkan membolehkan kegiatan bernyanyi  dan bermain musik di lingkungan amal usahanya (pesantren, sekolah, dan lain-lain) asal lirik dan pembawaannya tidak bertentangan dengan syariat Islam.


Nah, dalam kesempatan ini Alhadits.net akan memaparkan pandangan salah seorang ulama besar di abad ini yaitu Syekh Yusuf Al-Qardhawi, yang fatwa-fatwanya banyak menjadi rujukan kaum muslimin di seluruh dunia. Beliau dilahirkan di Saft Turab, Gharbia, Mesir, pada 9 September 1926 dan wafat pada 26 September 2022 di Doha, Qatar. Pemikiran mantan ketua Persatuan Ulama Muslim Internasional tersebut banyak mendapat pengaruh dari Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Sayyid Rasyid Ridha, Hassan al-Banna, Abul Hasan Ali Hasani Nadwi, Abul A’la Maududi dan Naeem Siddiqui. Berikut ini pandangan beliau seputar nyanyian dan musik:

 

Pandangan Syekh Yusuf Qardhawi Tentang Nyanyian dan Musik




Menurut  Yusuf Qardhawi, masalah nyanyian dan musik dengan peralatan musik memang merupakan masalah yang membangkitkan perdebatan di kalangan para ahli fiqih sejak zaman dahulu. Mereka bersepakat mengenai titik-titik tertentu dan berbeda pendapat mengenai titik-titik yang lain. Mereka sepakat mengharamkan semua nyanyian yang tidak senonoh, cabul atau nyanyian yang mengajak atau mendorong kepada perbuatan maksiat.



Nyanyian sebenarnya hanyalah kata-kata, ada yang baik dan ada buruk. Tiap perkataan yang menyalahi  dan bertentangan dengan ajaran Islam adalah haram, lebih-lebih lagi jika nada, irama dan liriknya berkekuatan membangkitkan keinginan berbuat yang buruk dan tidak senonoh.

Sebaliknya, mengenai nyanyian yang tidak mengandung hal-hal negatif dan buruk mereka (para ahli fiqih) sepakat membolehkannya. Misalnya nyanyian yang bersifat menggembirakan, seperti nyanyian menyambut pengantin, menyambut orang yang lama tidak bertemu, kemudian datang pada hari-hari raya (‘id) dan sebagainya. Mengenai nyanyian-nyanyian seperti itu memang ada nash-nash haditsnya yang jelas dan benar.



Selain soal-soal yang diuraikan di atas, masih ada beberapa masalah yang menjadi perselisihan pendapat di antara mereka. Ada sebagian yang membolehkan nyanyian diiringi alat-alat musik atau tidak, bahkan memandang nyanyian sebagai hal yang mustahab (disukai). Ada pula sebagian yang melarang nyanyian/lagu disertai alat-alat musik dan membolehkan yang tidak disertai alat-alat musik. Akan tetapi ada juga sebagian lain yang melarang sama sekali semua jenis nyanyian dan musik, bahkan mengharamkannya.

Nyanyian menurut Asalnya adalah Halal

Setelah Syekh Yusuf Qardhawi mempelajari dan mempertimbangkan semua pendapat semua di atas, dengan penuh keyakinan beliau memfatwakan: Nyanyian itu sendiri adalah halal, sebab pada dasarnya (menurut asalnya) semua hal adalah halal, kecuali yang diharamkan oleh syara’ dengan nash-nash (Al-Qur’an dan hadits) yang shahih.

Semua yang dikemukakan sebagai dalil untuk mengharamkan nyanyian dan musik dapat dibagi ke dalam tiga golongan: Sharih (terang), shahih (benar), dan ghairu sharih (tidak terang). Dua ayat tersebut di atas termasuk ghairu sharih untuk dijadikan dalil mengharamkan nyanyian.



Mengenai ayat pertama, yaitu surat Luqman ayat 6:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّشْتَرِيْ لَهْوَ الْحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ بِغَيْرِ عِلْمٍۖ وَّيَتَّخِذَهَا هُزُوًاۗ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ

Artinya: “Dan di antara manusia (ada) orang yang bermain kata-kata tanpa guna untuk menyesatkan orang lain (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman: 6)



Penafsiran Ibnu Hazm tentang QS. Luqman ayat 6

وَمِنَ النَّاسِ مَنۡ يَّشۡتَرِىۡ لَهۡوَ الۡحَدِيۡثِ لِيُضِلَّ عَنۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ بِغَيۡرِ عِلۡمٍ​ۖ وَّيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ​ؕ اُولٰٓٮِٕكَ لَهُمۡ عَذَابٌ مُّهِيۡنٌ‏

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan percakapan kosong untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman ayat 6)

Memang oleh beberapa orang sahabat Nabi dan beberapa orang kaum tabi’in dijadikan dalil untuk mengharamkan nyanyian. Penafsiran mereka mengenai ayat suci tersebut dijawab tegas oleh Imam Ibnu Hazm. Jawaban beliau dikutipkan Syekh Yusuf Al-Qardhawi sebagai  berikut:

“Tidak ada hujjah (argumentasi) yang dapat dibenarkan, karena beberapa hal:

  1. Tidak ada hujjah yang mutlak harus diterima selain yang datang dari Rasulullah Saw;
  2.  Penafsiran mereka ternyata tidak sama dan jauh berlainan dari penafsiran  para sahabat Nabi dan kaum tabi’in lainnya;
  3.  Nash (teks) ayat itu sendiri membatalkan (tidak membenarkan) hujjah atau argumentasi mereka, karena ayat tersebut menyatakan ‘..ada di antara manusia yang bermain kata-kata tanpa guna untuk menyesatkan orang lain tanpa sadar (ilmu), dan menggunakannya (jalan Allah) sebagai olok-olok…,’ dan seterusnya.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang melakukan perbuatan itu—menyesatkan orang lain dan menjadikan jalan Allah sebagai olok-olok—ia menjadi kafir. Itulah yang dicela dan dicerca oleh Allah dalam firman-Nya. Allah tidak mencela atau mencerca orang yang bermain kata-kata sebagai hiburan untuk menyantaikan perasaannya, yakni orang yang tidak menggunakan kata-kata untuk menyesatkan orang lain.



Yang dicela dan dicerca ialah jika orang menyanyi atau mendengarkan nyanyian yang menyesatkan, atau begitu asyik hingga lupa meninggalkan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Bahkan orang sengaja melupakan sholat fardhu karena sibuk membaca Al-Qur’an, membaca kitab-kitab hadits, atau asyik membicarakan nash-nash tersebut, tidak dapat dibenarkan, apalagi menyanyi atau kegiatan-kegiatan lain seperti itu.

Jelaslah sudah bahwa orang yang meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja adalah fasiq dan durhaka kepada Allah SWT, tak pandang alasan apapun. Meskipun sibuk dengan kegiatan-kegiatan seperti itu, jika ia tidak meninggalkan kewajiban apapun yang diperintahkan oleh agama, ia adalah muhsin (orang baik)…”

Mengenai penggunaan ayat berikutnya—yaitu surat Al-Qashash ayat 55 yang berbunyi:

وَاِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ اَعْرَضُوْا عَنْهُ وَقَالُوْا لَنَآ اَعْمَالُنَا وَلَكُمْ اَعْمَالُكُمْ ۖسَلٰمٌ عَلَيْكُمْ ۖ لَا نَبْتَغِى الْجٰهِلِيْنَ

Artinya: “Apabila mereka (orang-orang beriman) mendengar kata-kata yang tidak bermanfaat (laghwun) mereka berpaling (tidak mau mendengarkan) seraya berucap: Biarlah amal kami bagi kami dan amal kalian bagi kalian. Salam bagi kalian (yakni ‘selamat tinggal’), kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang dungu.”  

Sebagai dalil untuk mengharamkan nyanyian dan musik, itu sama sekali bukan pada tempatnya, sebab makna “kata-kata yang tidak bermanfaat” (laghwun) adalah “mengumpat” atau “memaki”, bukan nyanyian.



Jelas sekali ayat tersebut serupa dengan firman Allah SWT berikut ini:

وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَٰمًا

Artinya: “Dan hamba-hamba Allah Maha Penyayang bila berjalan di muka bumi, mereka berjalan dengan rendah hati (tidak sombong), dan bila mereka ditegur (dengan kata-kata tidak baik) oleh orang-orang dungu, mereka menyahut dengan ucapan salam.”  (QS. Al-Furqon: 63)

Kata laghwun (kata-kata yang tidak bermanfaat) sama artinya dengan “sia-sia”. Mendengarkan sesuatu yang tidak bermanfaat atau sia-sia tidak merupakan perbuatan haram, asalkan tidak mengabaikan atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan, seperti shalat fardhu dan lain sebagainya.

Riwayat Ibnu Jarij

Ibnu Jarij meriwayatkan, bahwa ia memberi kelonggaran kepada orang untuk mendengarkan nyanyian yang baik. Seorang sahabatnya bertanya, “Apakah pada hari kiamat kelak itu termasuk dalam hitungan kebajikan Anda, ataukah termasuk hitungan dalam amalan buruk Anda?” Ia menjawab, “Tidak termasuk kebajikan dan tidak termasuk keburukan.”

Allah berfirman:

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللّٰهُ بِاللَّغْوِ فِيْٓ اَيْمَانِكُمْ وَلٰكِنْ يُّؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوْبُكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ حَلِيْمٌ

Artinya: “Allah tidak menghukum kamu karena sumpahmu yang main-main (tidak bermaksud benar-benar bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu karena niat yang terkandung dalam hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 225)



Pendapat Imam Ghazali

Mengenai pernyataan sumpah dengan menyebut nama Allah, Imam Ghazali mengatakan sebagai berikut: “Jika orang menyebut nama Allah dalam sumpah yang tidak mengikat perjanjian, dan yang jika sumpahnya itu dicederai ia tidak beroleh manfaat dan pihak lain pun tidak dirugikan….ya, jika karena sumpah yang demikian itu saja Allah tidak menghukum orang yang bersangkutan, lalu bagaimana Allah SWT menghukum orang karena syair atau karena tari?”

Tidak semua nyanyian dan musik itu laghwun

Syekh Yusuf Qardhawi mengatakan, tidak semua nyanyian dan musik itu laghwun (sia-sia tanpa guna). Ketentuan hukum syara’-nya tergantung pada niat orang yang bersangkutan. Niat yang baik akan membuat nyanyian itu menjadi sarana pendekatan dan taat kepada Allah SWT.  Misalnya nyanyian yang memuji-muji keagungan dan kebesaran Allah, atau mengumandangkan pernyataan terimakasih kepada Rasul-Nya. Sebaliknya, niat yang jahat akan melenyapkan amalan yang pada lahirnya tampak ibadah, tetapi di dalamnya tersembunyi maksud riya’, mencari pujian orang. Sebuah hadits menerangkan:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ ». رواه مسلم

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian tetapi Ia melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)

 


Pendapat Ibnu Hazm dalam al-Muhalla

Sebagai jawaban terhadap golongan yang mengharamkan nyanyian dan musik, Ibnu Hazm di dalam al-Muhalla dengan tepat mengatakan, “Ada orang-orang yang mempertanyakan, nyanyian itu termasuk haq (kebenaran) atau termasuk kebatikan?” Tidak ada penilaian ketiga, sebab Allah SWT telah berfirman:

فَذٰلِكُمُ اللّٰهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّۚ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ اِلَّا الضَّلٰلُ ۖفَاَنّٰى تُصْرَفُوْنَ

Artinya: “Maka itulah Allah, Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kesesatan. Maka mengapa kamu berpaling (dari kebenaran)?” (QS. Yunus: 32)

Hujjah demikian itu kami jawab: “Rasulullah Saw telah menegaskan, bahwa semua amalan dan perbuatan tergantung pada niat, setiap orang hanya mendapat apa yang diniatinya. Orang yang berniat mendengarkan nyanyian agar mudah berbuat maksiat (durhana) kepada Allah SWT, ia adalah orang fasiq durhaka. Demikian juga lain-lainnya yang bukan nyanyian. Orang yang mendengarkan nyanyian dengan niat menenangkan jiwanya agar lebih kuat lagi mentaati perintah Allah SWT dan agar lebih kuat kegairahannya berbuat kebajikan, ia adalah orang yang taat kepada Allah dan muhsin (baik).



Sedangkan orang yang tidak berniat taat ataupun maksiat, maka perbuatannya (mendengarkan nyanyian) adalah laghwun (sia-sia tanpa guna), dan hal itu dapat dimaafkan. Misalnya lagi, orang yang keluar berjalan-jalan di kebun atau pertamanan, orang yang duduk di depan pintu rumahnya untuk menikmati pemandangan sekitar, orang yang memakai baju berwarna biru, hijau atau warna lain menurut kesukaannya dan lain-lain…”

Hadits-hadits yang digunakan sebagai dalil oleh orang-orang yang mengharamkan nyanyian dan musik penuh dengan kelemahan. Tidak ada sebuah hadits pun yang dapat lolos dari tha’n (kelemahan yang membuat hadits tidak dapat diterima atau dibenarkan), baik mengenai kepastian benarnya hadits itu sendiri maupun penggunaannya sebagai dalil.

Al-Qadhy Abu Bakar bin Al-Araby di dalam bukunya al-Ahkam mengatakan: “Tidak sah untuk mengharamkan sesuatu.” Demikian juga yang dikatakan oleh Al-Ghazali dan Ibnu an-Nahwi di dalam al-‘Umdah. Ibnu Hazm berkata lebih keras lagi: “Semua hadits yang diriwayatkan mengenai itu (nyanyian dan musik—red) adalah batil dan maudhu’ (palsu/tidak dapat dibenarkan).”

Jadi dengan demikian, jika dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian dan musik semuanya sudah gugur (tidak dapat dipertahankan), maka sekarang tinggal masalah mubahnya (dibolehkan) nyanyian/musik. Bagaimana nyanyian hendak diharamkan, sedangkan mengenai nyanyian itu terdapat nash-nash hadits yang tetap dan kuat menunjukkan ke-mubah-annya.

Hadits tentang Ke-mubah-an Nyanyian

Cukuplah kita kemukakan saja sebuah hadits di dalam Shahih Bukhari  dan Shahih Muslim. Yaitu hadits yang menuturkan: “Pada suatu Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. menemui Rasulullah Saw yang ketika itu sedang berada di kediaman Aisyah r.a. Saat itu di dalam rumahnya ada dua orang jariyah (perempuan) yang sedang menyanyi. Oleh Abu Bakar mereka dibentak, ‘Patutkah seruling setan berada di rumah Rasulullah?’ Mendengar teguran itu Rasulullah menyahut, ‘Hai Abu Bakar, biarkan mereka, sekarang adalah hari-hari id (hari-hari raya)’.”



Dan tidak ada pernyataan Beliau Saw yang melarang nyanyian di luar hari-hari raya. Artinya bahwa hari raya termasuk kesempatan yang tepat dan baik untuk memperlihatkan kegembiraan dengan bernyanyi atau bentuk-bentuk kesenangan lain yang halal.

 

Syekh Yusuf al-Qardhawi Menambahkan Beberapa Persyaratan

Namun demikian, Syekh Yusuf al-Qardhawi menambahkan beberapa persyaratan yang harus diperhatikan:


Isi nyanyian/liriknya harus sesuai dengan ajaran dan akhlak Islam

Pertama, substansi (isi nyanyian, liriknya) harus sesuai dengan ajaran dan akhlak Islam. Nyanyian dan musik yang mengumandangkan kalimat: “……dunia ini adalah rokok dan sloki,” misalnya, jelas menyalahi ajaran Islam yang mengharamkan khamr  (minuman keras/miras) dan memandangnya  sebagai perbuatan setan yang menjijikkan. Bahkan Islam melaknat orang yang meneguk “sloki”, pembuat khamr, penjualnya, pengangkutnya dan semua orang yang turut terlibat pengadaannya.



Demikian juga nyanyian yang mengagumi “pria atau wanita yang bermata keranjang”. Itu pun jelas menyalahi ajaran Islam, dimana Allah berfirman:

قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا يَصْنَعُوْنَ

Artinya: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30)

Kepada Ali bin Abi Thalib r.a. Rasulullah Saw memberitahu:

يَا عَلِيُّ لا تُتْبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الآخِرَةُ

Artinya: “Hai Ali, pendanganmu yang pertama kepada wanita bukan mahram, janganlah engkau lanjutkan dengan pandangan kedua. Pandangan yang pertama tidak membuatmu berdosa, sedangkan pandanganmu yang kedua membuatmu  berdosa.” (HR. at-Tirmidzi, no. 2701 dan ia ada dalam Shahih Al-Jami’  no. 7953).



Cara membawakan nyanyian dan musik jangan membangkitkan syahwat

Kedua, cara membawakan nyanyian dan musik juga penting. Terkadang substansi (lirik) nyanyian dan musik itu sendiri tidak apa-apa, tidak jorok, tetapi pembawaan yang dilakukan oleh si biduan atau di biduanita begitu rupa merayu dengan gerak-gerik dan ulahnya yang sengaja membangkitkan gejolak naluri seks (syahwat). Misalnya nyanyian-nyanyian yang diselingi dengan suara-suara misterius, seperti : “eeeh…eeeh…eeeh..” atau suara dan ulah-ulah lainnya yang menggambarkan adegan-adegan tidak senonoh. Hendaknya kita selalu ingat akan firman Allah SWT yang tertuju kepada para istri Rasulullah SAW:

يٰنِسَاۤءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَاَحَدٍ مِّنَ النِّسَاۤءِ اِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِيْ فِيْ قَلْبِهٖ مَرَضٌ وَّقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوْفًاۚ

Artinya: “Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 32)



Larangan bersenang-senang yang berlebihan

Ketiga, dalam soal ibadah saja agama Islam melarang sikap berlebih-lebihan hingga melampaui batas kewajaran, apalagi dalam hal bersenang-senang sehingga membuang-buang waktu yang begitu banyak, kendati kesenangan yang halal atau mubah. Bersenang-senang secara berlebihan menandakan hati dan pikiran yang kosong, tidak mengindahkan kewajiban-kewajiban yang penting dan tujuan hidup yang tinggi dan besar. Selain itu juga menandakan sikap yang mengabaikan kepentingan-kepentingan lain yang semestinya harus dikerjakan mengingat waktu hidup manusia itu amat terbatas. Alangkah tepat dan besar artinya apa yang dikatakan oleh Ibnul Muqaffa’ : “Apa saja yang dilakukan secara berlebih-lebihan, bersamaan dengan itu pasti ada kewajiban yang terabaikan.”

Hendaklah menyingkir jika nyanyian melampau batas

Keempat, orang yang mendengarkan nyanyian dan musik— tanpa melampaui batas-batas yang diuraikan di atas—hendaknya dapat mempertimbangkan dan menentukan keputusan sendiri: Jika nyanyian dan musik itu, atau jenis nyanyian tertentu yang didengarnya, dirasa membangkitkan gejolak nalurinya dan merangsang semangatnya hingga berani nekad membenamkan diri ke dalam bahaya/maksiat, atau mengajak bersenang-senang di tengah bayangan angan-angan dan khayalan, hendaklah ia menyingkir dan menutup pintu rapat-rapat untuk menahan tiupan angin bencana yang merusak isi hatinya, agamanya dan akhlaknya. Dengan mengambil keputusan seperti itu ia tetap tenang dan tentram, aman dari godaan setan.



Persyaratan-persyaratan tersebut di atas, kata Syekh Yusuf al-Qardhawi, sangat perlu diindahkan. Karena dewasa ini hampir semua nyanyian dan musik yang bersifat hiburan, baik kuantitasnya, kualitasnya, cara pembawaannya ataupun penyajiannya, pada umumnya berkaitan dengan kehidupan orang-orang yang jauh sekali dari agama, dari norma-norma akhlak yang diajarkan agama dan dari keutamaan yang dikehendaki oleh agama. Oleh sebab itu tidaklah pada tempatnya jika seorang muslim mengaguminya, memuji-muji, ikut-ikutan mempopulerkannya, dan lebih memperluas pengaruhnya sehingga akan lebih merusak lagi.

BACA JUGA: Bacaan Sholat Rasulullah



Lebih baik bagi setiap muslim menjaga keselamatan agamanya

Adalah lebih baik bagi setiap muslim yang bertekad hendak menjaga keselamatan agamanya, supaya memperkokoh daya tahannya menghadapi hiburan-hiburan semacam itu. Berhati-hatilah menghadapi syubhat (hal-hal yang meragukan) dan menjauhkan diri dari bidang kehidupan, yang jika ia sudah terjebak di dalamnya akan sukar sekali melepaskan diri dari perbuatan-perbuatan haram yang mencengkeramnya.

Banyak media latihan vokal untuk latihan nyanyi pemula, radio musik atau musik online yang menyediakan cara nyanyi biar bagus atau cara menyanyi yang bagus dan merdu dan cara bernyanyi agar pas dengan musik.



Orang yang hendak menggunakan kesempatan untuk menikmati nyanyian dan musik hendaknya dapat memilih sendiri dan sedapat mungkin mengambil mana yang diyakini paling jauh dari kemungkinan mendatangkan dosa.

Penyanyi/biduan dan yang berkecimpung di bidang musik kudu lebih waspada

Jika untuk mendengarkan nyanyian dan musik saja diperlukan kewaspadaan dan kehati-hatian seperti itu, lebih-lebih lagi bagi orang yang berprofesi sebagai penyanyi/biduan, atau berkecimpung di bidang musik. Sebab membaurkan diri di dalam lingkungan apa yang dinamakan “seni” sangat membahayakan kemulusan agamanya. Jarang sekali yang dapat meninggalkan lingkungan itu dalam keadaan tetap “bersih” dan selamat dari hal-ihwal yang tidak disukai agama.



Karena itulah Allah SWT memerintahkan kaum wanita muslimah supaya berhati-hati menjaga diri, menghindari perbuatan-perbuatan dan perilaku yang memalukan, baik dalam hal berpakaian, berjalan, dan berbicara. Semuanya itu hendaknya dijaga sedemikian rupa untuk menjauhkan godaan dan menjauhkan diri dari godaan pria. Wanita harus dapat menjaga diri dari perilaku yang dapat membuatnya menjadi obyek pembicaraan orang, menjadi sasaran mata keranjang, dan menjadi incaran lelaki hidung belang. Dengan menjaga perilaku yang baik, dalam hal berbusana, berjalan, dan berbicara yang sopan, ia akan menjadi wanita muslimah seperti yang disebut dalam Al-Qur’an:

ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ

“Dengan demikian itu mereka mudah dikenal (sebagai wanita sholehah), dan tidak akan diganggu orang.” (QS. Al-Ahzab: 59)

BACA JUGA: Adab Tidur

Demikian paparan seputar hukum mendengarkan nyanyian atau lagu dan bermain musik menurut pandangan Syekh Yusuf Al-Qardhawi, ulama kredibel asal al-Azhar Mesir yang tinggal di Qatar hingga akhir hayatnya pada tahun 2022 lalu. Semoga kita semua bisa mengambil hikmah dan ibroh dari apa-apa disampaikan oleh beliau serta mendapatkan pencerahan yang akan berguna bagi kehiduan kita ke depan.



Referensi:

  • Fatwa-fatwa Mutakhir Dr Yusuf Al-Qardhawi, Penerjemah HMH. Al-Hamid Al-Husaini, Penerbit Yayasan al-Hamidy dan Pustaka Hidayah bandung, Cetakan Keempat, Maret 2000.

Editor: Dezete

 

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top
Scroll to Top