Pertanyaan Penting Seputar Puasa Ramadhan

Pertanyaan Penting Seputar Puasa Ramadhan

Pertanyaan Penting Seputar Puasa Ramadhan. Bulan Suci Ramadhan tahun 1444 Hijriyah insyaAllah tidak lama lagi akan tiba, yaitu diperkirakan jatuh pada tanggal 23 Maret 2023 Masehi. Di bulan tersebut, umat Islam di seluruh dunia disyariatkan untuk menunaikan ibadah puasa Ramadhan selama sebulan penuh. Kecuali bagi yang berhalangan secara syar’i mereka diberikan keringanan (rukhshoh) untuk tidak berpuasa, tetapi wajib meng-qadha di bulan lain diluar bulan Ramadhan.

Namun demikian, masih banyak beberapa persoalan atau pertanyaan penting seputar pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan yang belum diketahui oleh kaum Muslimin/Muslimat. Nah, agar ibadah puasa Ramadhan kita nanti menjadi lebih sempurna dan dapat meraih derajat takwa, Alhadits.net menyaji beberapa ulasan/uraian Syekh Dr. Yusuf Al-Qardhawi seputar beberapa pertanyaan penting yang biasa diajukan oleh kaum Muslimim/Muslimat. Dengan harapan, bisa membantu memberikan pemahaman dan pencerahan seputar persoalan-persoalan krusial yang berkaitan dengan ibadah di bulan Ramadhan. Berikut ini ulasan beliau dikutip dari buku “Fatwa-Fatwa Mutakhir Dr. Yusuf Qardhawi”:

Makan dan Minum di Saat Puasa Karena Lupa

Makan dan Minum di saat sedang berpuasa karena lupa, bagaimana hukumnya?

 

HR. Bukhari Muslim

Syekh Yusuf al-Qardhawi menyatakan, di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim terdapat sebuah hadits berasal dari Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berbunyi:

مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا وَهُوَ صَائِمٌ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ

“Barangsiapa lupa bahwa dirinya sedang berpuasa kemudian ia makan dan minum, hendaklah ia menyempurnakan (meneruskan) puasanya. Itu adalah makanan dan minuman yang diberikan Allah kepadanya.” (HR. Bukhari Muslim)

Riwayat Ad-Daruqutni

Hadits semakna diriwayatkan oleh Ad-Daruqutni dengan sanadsanad  shahih, dengan lafal berikut:

“…itu merupakan rezeki yang diantarkan Allah kepadanya. Ia tidak wajib qadha.”

Riwayat Lainnya

Hadits semakna  juga diriwayatkan oleh Ad-Daruqutni, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, dengan dengan lafal sebagai berikut:

“Barangsiapa makan di bulan Ramadhan karena lupa ia tidak diwajibkan qadha dan tidak diwajibkan membayar kaffarah (fidyah).”

Hadits tersebut isnad-nya shahih dan diketengahkan juga oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar.

  Semua hadits tersebut di atas cukup jelas menerangkan, bahwa makan dan minum karena lupa tidak mempengaruhi keabsahan puasa seseorang. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT: “Ya Allah, Tuhan kami, janganlah kami Engkau murkai bila kami lupa atau berbuat keliru.” (QS. Al-Baqarah: 286). Sebuah hadits shahih menegaskan bahwa doa yang diajarkan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman itu dikabulkan. Hal itu ditegaskan juga dalam hadits yang lain: “Sungguhlah bahwa Allah menjauhkan umat ini (umat Islam) dari dosa akibat kekeliruan, kelupaan dan dari apa saja yang dipaksakan kepada mereka.”  

Menyikat Gigi (Bersiwak) di Siang Bulan Ramadhan

Bagaimana hukum menggunakan siwak (sikat gigi) bagi orang yang sedang berpuasa?

  Syekh Yusuf al-Qardhawi menyatakan, bersiwak atau menggosok gigi dengan sikat gigi pada bulan Ramadhan sebelum matahari bergeser ke arah barat (zawal) adalah mustahab (sunnah). Akan tetapi para ulama fuqaha berbeda pendapat mengenai penggunaannya sesudah zawal (matahari bergeser ke arah barat) oleh orang yang sedang berpuasa. Sebagian dari mereka menyatakan: hukumnya makruh (tidak disukai). Sebagai dalilnya mereka mengemukakan, dari hadits berikut ini : Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak misk (kasturi).” (HR. Bukhari, no. 1894 dan Muslim, no. 1151).

Khuluf yang dimaksud dalam hadits adalah berubahnya bau mulut orang yang berpuasa.

Mereka berpendapat bahwa bau kasturi (sejenis minyak wangi) tidak baik jika dihilangkan, yakni perbuatan itu tidak disukai, makruh. Sebab bau demikian itu maqbul (diterima) dan mahbub (disukai) di sisi Allah. Karena itu maka janganlah orang yang sedang berpuasa menghilangkannya. Mereka menyamakan hal itu dengan darah luka-luka orang yang mati syahid dalam peperangan. Mengenai orang yang mati syahid itu Rasulullah Saw menyatakan:

“Ikutsertakan darah dan pakaian mereka. Pada hari kiamat kelak di sisi Allah mereka akan dibangkitkan dengan semuanya itu.” (HR. Bukhari dan para Imam ahli Hadits lainnya).

Para ulama mengkiaskan (menganalogikan) penggunaan sikat gigi sesudah zawal, dengan orang yang mati syahid. Sesungguhnya dua hal yang berlainan itu tidak bisa dianalogikan (dikiaskan), sebab masing-masing mempunyai kedudukan tersendiri. Sebuah hadits yang dikemukakan oleh Bukhari sebagai hadits mu’allaq majzum, berasal dari sejumlah sahabat, menuturkan “Kami melihat sendiri Rasululllah Saw sering sekali bersiwak saat beliau sedang berpuasa.” Berdasarkan hadits tersebut maka sering bersiwak (bersikat gigi) di waktu siang ataupun malam adalah mustahab bagi orang yang sedang berpuasa. Tidak dalam keadaan berpuasa pun bersiwak adalah mustahab. Mengenai hal itu Rasulullah Saw menegaskan

“Siwak (sikat gigi) membersihkan mulut dan mendatangkan keridhoaan Alah.” (HR. An-Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah).

Bagaimana halnya dengan menggunakan pasta gigi, apakah juga dibolehkan?

  Mengenai penggunaan pasta gigi, menurut Syekh Yusuf al-Qardhawi, orang yang sedang berpuasa harus berhati-hati, agar tidak ada bagian yang tertelan masuk ke dalam perut (jauf). Jika ada bagian, walau sedikit, yang masuk ke dalam perut, hukumnya sama dengan berbuka puasa. Demikian pendapat sebagian besar ulama. Oleh karena itu Muslim yang sedang berpuasa hendaknya menangguhkan penggunaan pasta gigi hingga saat ia habis berbuka puasa. Akan tetapi jika ia menggunakan pasti gigi sebelum berbuka puasa, dengan sangat berhati-hati hingga tidak ada sedikitpun yang tertelan masuk ke dalam perut, itu boleh saja dilakukan. Namun jika ia sudah berhati-hati, kemudian tanpa sengaja ada sedikit yang tertelan masuk ke dalam perut, itu dapat dimaafkan (ma’fuh). Allah SWT telah berfirman :

“Tiada dosa bagi kalian atas kekeliruan yang kalian lakukan, tetapi adalah berdosa suatu (perbuatan yang kalian lakukan) dengan sengaja di hati kalian.” (QS. Al-Ahzab:5)

Terkait dengan ayat suci tersebut Rasululllah Saw menerangkan:

“Umatku dibebaskan dari dosa atas kekeliruan (tanpa sengaja), kelupaan dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.” (Hadits shahih).

Jarak Perjalanan yang Diperbolehkan Buka Puasa

Berapa jauh perjalanan seorang musafir yang membolehkannya berbuka puasa?

  Syekh Yusuf al-Qardhawi menyatakan, seorang musafir boleh berbuka puasa (membatalkan puasa) atas dasar nash Al-Qur’an Al-Karim:

“Barangsiapa di antara kalian berbuka puasa disebabkan sakit atau berada dalam perjalanan jauh, maka ia wajib berpuasa pada waktu lain sebanyak hari-hari yang puasanya ditinggalkan.” (QS. Al-Baqarah: 184—85).

 

Pendapat Ulama Fiqih

Mengenai berapa jauh jarak perjalanan itu para ulama fiqih berbeda pendapat. Sebagian besar mazhab fiqih memperkirakan jarak tempuh yang memberikan kelonggaran (rukhshoh) kepada seorang musafir untuk mempersingkat (qashr) shalat dan berbuka puasa adalah 84 km.

Sekali lagi itu hanya merupakan perkiraan, bukan mutlak.

Baik dari Rasulullah sendiri maupun para sahabatnya tidak ada ketentuan jarak jauh yang diperkirakan dengan ukuran meter atau kilometer. Jarak jauh yang kami sebut itu cukuplah.

Akan tetapi ada pula sebagian ulama fiqih tidak menentukan jarak jauh perjalanan sebagai syarat untuk boleh mempersingkat shalat atau berbuka puasa. Tiap perjalanan yang lazim disebut “bepergian jauh” (safar) membolehkan pelakunya mempersingkat shalat atau berbuka puasa.

Boleh Memilih

Dalam hal itu ia dapat memilih, yakni boleh mempersingkat shalat dan boleh pula berbuka puasa, atau sebaliknya.

Mengenai soal itu terdapat sebuah riwayat yang dituturkan oleh sejumlah sahabat Nabi, seperti berikut: “Kami berpergian jauh bersama Rasulullah Saw. Di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang tidak. Yang berpuasa tidak menyalah-nyalahkan yang tidak berpuasa, dan yang tidak berpuasa pun tidak menyalah-nyalahkan yang berpuasa.”

Yang jelas adalah jika dalam perjalanan jauh orang menghadapi kesukaran berat, tetapi ia terus berpuasa maka puasanya makruh, bahkan mungkin diharamkan. Terdapat sebuah riwayat mengenai apa yang pernah dikatakan oleh Rasulullah tentang seorang yang lemas kehabisan tenaga dalam perjalanan akibat terus berpuasa.

dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma, dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ ، فَرَأَى زِحَامًا وَرَجُلا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ : مَا هَذَا ؟ فَقَالُوا : صَائِمٌ. فَقَالَ : لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ .

 “Suatu saat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu safar. Lalu beliau melihat kerumunan dan seseorang yang sedang dipayungi. Beliau bertanya: “Ada apa?” Mereka menjawab: “Orang ini sedang berpuasa.” Maka beliau bersabda: “Bukan merupakan suatu kebaikan berpuasa dalam safar.” (HR. Bukhari, no. 1946 dan Muslim, no. 1115)

 

Bagi yang Tidak Menghadapi Kesukaran Berat

Tetapi bagi yang tidak menghadapi kesukaran berat ia boleh memilih: terus berpuasa atau tidak. Akan tetapi pilihan manakah yang afdhal?

Syekh Yusuf al-Qardhawi menyatakan, mengenai hal itu para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat, puasa lebih afdhal dan ada pula yang berpendapat berbuka puasa lebih afdhal. Umar bin Abdul Aziz r.a. menegaskan, “Mana yang lebih mudah itulah yang lebih afdhal.”

Ada sebagian musafir yang merasa lebih ringan jika ia berpuasa bersama-sama dengan orang lain, agar ia tidak berkewajiban meng-qadha puasanya pada waktu orang lain tidak berpuasa. Kepada orang yang demikian itu kita katakan: Silahkan terus berpuasa!

Akan tetapi ada juga yang merasa berbuka puasa dalam perjalanan di bulan Ramadhan lebih ringan. Sebab ia dapat melaksanakan tugas-tugas atau urusannya, dapat memperoleh keperluan-keperluannya dan dapat bergerak dengan mudah dalam menunaikan kewajiban-kewajibannya. Kepada orang yang demikian itu kita katakan: Silahkan anda berbuka puasa dan qadhalah puasa anda pada hari-hari lain.

Ia boleh milih: mana yang lebih ringan baginya, itulah yang lebih afdhal.  

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top
Scroll to Top